Bruce Mitchell dkk (2000) dalam bukunya Pengelolaan Sumberdaya dan Lingkungan secara khusus membahas sistem pengetahuan lokal pada salah satu subbab pembahasan. Menurutnya, konsep sistem pengetahuan lokal berakar dari sistem pengetahuan dan pengelolaan lokal atau tradisional. Masyarakat lokal, tradisional atau asli dapat ditemukan di setiap benua, di banyak negara. Definisi tentang masyarakat asli atau lokal cukup beragam. Walaupun demikian, beberapa elemen dasar biasanya termasuk antara lain : (1) Keturunan penduduk asli suatu daerah yang kemudian dihuni oleh sekelompok masyarakat dari luar yang lebih kuat, (2) Sekelompok orang yang mempunyai bahasa, tradisi, budaya, dan agama yang berbeda dengan kelompok yang lebih dominan, (3) Selalu diasosiasikan dengan beberapa tipe kondisi ekonomi masyarakat, (4) Keturunan masyarakat pemburu, nomadik, peladang berpindah, (5) masyarakat dengan hubungan sosial yang menekankan pada kelompok, pengambilan keputusan melalui kesepakatan, serta pengelolaan sumberdaya secara kelompok (Durning, 1992 : 8). Darning mencatat bahwa jika didasarkan atas bahasa lisan, manusia di muka bumi dapat dikelompokkan menjadi 6.000 budaya, yang mana 4.000 sampai 5.000 nya dapat dikategorikan lokal atau asli. Di Indonesia saja, setidaknya terdapat lebih dari dua ratus bahasa daerah.
Karena hubungan mereka yang dekat dengan lingkungan dan sumberdaya alam, masyarakat asli melalui “ujicoba” telah mengembangkan pemahaman terhadap sistem ekologi dimana mereka tinggal. Masyarakat ini tidak selalu hidup secara harmoni dengan alam, karena mereka juga menyebabkan perusakan lingkungan. Pada saat yang sama, karena kehidupan mereka tergantung pada dipertahankannya integritas ekosistem tempat mereka mendapatkan makanan dan rumah, kesalahan besar biasanya tidak akan terulang. Pemahaman mereka tentang sistem alam yang terakumulasi biasanya diwariskan secara lisan, serta biasanya tidak dapat dijelaskan melalui istilah-istilah ilmiah.
Dalam banyak kasus, tindakan masyarakat meniru pola dan perilaku sistem alam. Sebagai contoh, praktek penanaman beragam biji-bijian sebagai bagian dari peladangan berpindah banyak meniru kompleksitas dan keragaman sistem vegetasi wilayah sub-tropis dan tropis. Beberapa jenis tanaman yang berbeda selalu ditanam dalam satu petak tanah, atau biasa dikenal sebagai “tumpang-sari”. Bagi ilmuwan yang dididik secara Barat, praktek ini mungkin terlihat primitif dan tidak efisien. Akan tetapi, perbedaan kecepatan tumbuh berbagai jenis tanaman tersebut justru membuat tanah menjadi permanen. Pola ini juga melindungi tanah dari sinar matahari langsung serta mengurangi pemanasan langsung pada permukaan tanah. Penutupan permukaan tanah yang menerus juga menjaga tanah dari proses erosi, khususnya selama musim hujan, ketika curah hujan amat tinggi. Sistem akar yang bervariasi juga menjadikan penggunaan volume tanah secara lebih efisien. Tanaman campuran juga mengurangi kerentanan petak tersebut terhadap hama dan serangga perusak.
Banyak contoh lain yang dapat dipaparkan disini. Pada salah satu edisi Jurnal CSIS, Abdon Nababan (1995) memapakan beberapa contoh kasus kearifan tradisional ini, antara lain :
Orang Dani di Lembah Baliem (1.650 dpl) di Pegunungan Jaya Wijaya, Papua, menggunakan tongkat sederhana sebagai cangkul pengolah lahan kebun ubi. Sadar atau tidak, penggunaan teknologi sederhana ini berfungsi dalam konservasi tanah kebun di lereng bukit (yang memang senstif terhadap erosi dan longsor). Cara lain yang mereka lakukan untuk mengkonservasi lahan di lereng bukit adalah dengan sistem bera, yaitu mengistirahatkan lahan kebun bertahun-tahun (bisa sampai 10 tahun) setelah digunakan selam dua siklus penanaman secara berturut-turut. Dan masih terdapat beberapa tradisi yang merupakan wujud sistem pengetahuan lokal terhadap lingkungan.
Masyarakat Negeri Haruku di Pulau Haruku, salah satu pulau di gugusan pulau-pulau Lease di Maluku Tengah, memiliki peraturan hukum adat, yang dikenal dengan sasi. Sasi diartikan sebagai larangan mengambil hasil alam tertentu sebagai upaya pelestarian mutu dan populasi sumber daya alam hayati. Aturan-aturan adat di dalam sasi diputuskan dalam kerapatan Dewan adat.
Orang Kimaam yang mendiami Pulau Kimaam Selatan yang berawa-rawa di Kabupaten Merauke telah mengembangkan sistem pertanian yang canggih untuk menghasilkan ubi sebagai makanan pokok mereka. Dengan tipe ekosistem dataran rendah yang selalu berair dan lahan kebun terbenam di kala laut sedang pasang, penanaman dan perawatan ubi harus sedemikian canggih dan rumit untuk bisa menghasikan ubi-ubi raksasa. Pada kondisi alam demikian, Orang Kimaam Selatan membuat kebun ubi “terapung” dengan parit-parit pengatur air yang rumit. Pengetahuan mereka tentang berbagai media tumbuh (ilmu tanah) dan perubahan musim dan iklmi dengan “membaca” peredaran benda-benda langit dan arah angin (ilmu meteorologi dan geofisika) berkembang dengan sangat mengagumkan.
Kesadaran yang terus berkembang bahwa penduduk asli yang tinggal di suatu wilayah telah mempunyai pemahaman dan pandangan tentang sumberdaya, lingkungan dan ekosisem setempat, menimbulkan pemikiran bahwa para ahli tidak boleh semata-mata mengandalkan pada cara-cara ilmiah-resmi dalam memahami suatu wilayah. Kesadaran ini menjadikan diterimanya pendekatan partisipatif dalam pembangunan serta tumbuhnya minat untuk mengkombinasikan sistem pengetahuan lokal dengan pengetahuan ilmiah-modern.
Referensi :
Bruce Mitchell, Bakti Setiawan, Dwita Rahmi. 2000. Pengelolaan Sumberdaya dan Lingkungan. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta
Jurnal ANALISIS CSIS. 1995. Kebudayaan, Kearifan Tradisional dan Pelestarian Lingkungan. CSIS Jakarta