Hampir seluruh rancangan superblok di Indonesia memiliki konotasi kemewahan dan tidak sedikit pun yang mengalokasikan ruang hunian bagi masyarakat menengah ke bawah. Padahal, mereka adalah bagian terbesar warga perkotaan yang pada gilirannya bakal mengisi pekerjaan informal dan semi-informal di sekitar kawasan tersebut.
Sementara itu, pembangunan rumah-rumah susun yang telah dilakukan di berbagai kota untuk memfasilitasi kelompok menengah ke bawah belum mendapat perhatian khusus. Bangunan tersebut pada umumnya berada di lokasi-lokasi “tersembunyi” dengan jarak yang relatif jauh terhadap pusat-pusat kegiatan. Idealnya, bagi negara-negara sedang berkembang, seperti Indonesia dengan kondisi sosial-ekonomi masyarakat yang heterogen, sebuah superblok mestinya terdiri atas percampuran fungsi dan percampuran kelas hunian. Dengan demikian, kawasan superblok secara sosial akan lebih “hidup”.
“Konsep 1:3:6 pernah diperkenalkan zaman era orde baru, yang mewajibkan pengembang mengikuti proporsi 1 unit mewah, 3 unit menengah, dan 6 unit rumah sederhana. Namun, karena pengembang cenderung memikirkan skala ekonomi proyek, mengakibatkan pembangunan rumah menengah dan sederhana belum menjadi prioritas hingga kini,” ujar Prof. Ir. Bambang Hari Wibisono, M.U.P., M.Sc., Ph.D., Selasa (30/3), saat dikukuhkan sebagai Guru Besar Fakultas Teknik UGM.
Menurut Bambang Hari, sejumlah pembangunan superblok menunjukkan adanya pengabaian (non-compliance) oleh para pengembang terhadap Urban Design Guidelines yang telah ditetapkan pemerintah setempat. Beberapa contoh pengabaian terhadap standar tersebut berakibat pada permasalahan lingkungan, seperti kemacetan lalu lintas dan penananganan limbah. “Perlu diingat, superblok adalah fasilitas terpadu yang merupakan trip generator relatif besar, cenderung menimbulkan kumpulan manusia dalam jumlah relatif banyak dalam waktu yang bersamaan, dan sering kurang diperhatikannya daya dukung atau ambang batas lingkungan setempat,” jelasnya di Balai Senat UGM.
Secara arsitektural, Wakil Dekan Bidang Akademik Fakultas Teknik UGM ini berpandangan bentuk dan skala bangunan superblok pada umumnya cenderung menunjukkan sifat “arogan” dan out of character, kurang manusiawi, dan menciptakan keterasingan. Di samping berupaya mewujudkan citra sesuai dengan tema rancangan, kecenderungan bangunan superblok adalah untuk mewujudkan efisiensi dan efektifitas penggunaan lahan perkotaan. “Karena lahan perkotaan memang semakin lama semakin terbatas ketersediaannya. Karenanya yang perlu dicermati adalah kemungkinan lunturnya jati diri setempat, hilangnya sense of place, serta berkurangnya rasa memiliki segenap warga, yang menimbulkan kecemburuan sosial antar warga kota,” papar pria kelahiran Yogyakarta, 14 Juli 1960 ini.
Oleh karena itu, suami dr. Iryani Andamari, Sp.KK dan ayah dua anak ini berharap adanya kajian yang lebih mendasar, komprehensif, dan kreatif melalui pemanfaatan pengetahuan dan kearifan lokal (indigeneous wisdom). Dengan pendekatan kontekstual dan partisipatif, terpelihara keseimbangan kehidupan perkotaan secara serasi dan berkelanjutan. (Humas UGM/ Agung)