Prof. Bakti Setiawan atau kerap disapa Pak Bobi menjadi salah satu narasumber Workshop “Perlindungan Warisan Budaya dalam Pelaksanaan Proyek Pembangunan Infrastruktur Berkelanjutan di Indonesia” yang diselenggarakan oleh P.T. Sarana Multi Infrastruktur di Hotel Plataran Borobudur, Magelang. Kegiatan ini berlangsung pada Rabu, 15 Oktober 2025, pukul 14.00–17.00 WIB, dan dihadiri oleh para pemangku kepentingan terkait. Workshop ini bertujuan memperkuat kolaborasi lintas sektor agar upaya pelestarian cagar budaya dapat berjalan seiring dengan pembangunan yang berkelanjutan.
Dalam paparannya yang bertajuk “Pariwisata dan Cagar Budaya: Beberapa Isu”, Pak Bobi menyoroti pentingnya memahami kerangka hukum yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya. Ia menjelaskan bahwa undang-undang ini menekankan pendekatan berbasis kawasan serta mengatur pelestarian melalui tiga pilar utama: perlindungan, pengembangan, dan pemanfaatan. Namun, menurutnya, sejumlah aspek masih membutuhkan penjabaran teknis lebih lanjut, terutama terkait peran komunitas, keseimbangan kewenangan antarlevel pemerintahan, dan keterlibatan sektor swasta.
Lebih lanjut, Pak Bobi mengulas dinamika pariwisata masa kini yang semakin kompleks dan menuntut pendekatan berkelanjutan. Ia memaparkan konsep 4-5A (Attraction, Accessibility, Amenities, Accommodation, dan Ancilliary) sebagai dasar pengembangan pariwisata yang berkualitas, sekaligus mengingatkan adanya potensi dampak negatif terhadap lingkungan dan budaya lokal. Dalam konteks ini, instrumen seperti KLHS (Kajian Lingkungan Hidup Strategis), AMDAL, dan HIA (Heritage Impact Assessment) menjadi alat penting untuk memastikan bahwa pariwisata tidak merusak nilai-nilai cagar budaya yang dilindungi.
Dalam sesi berikutnya, Pak Bobi menekankan pentingnya pendekatan Historic Urban Landscape (HUL) sebagai kerangka pengelolaan perubahan di kawasan bersejarah. Ia menjelaskan bahwa pelestarian cagar budaya tidak hanya berbicara tentang menjaga fisik bangunan, tetapi juga mempertahankan makna, otentisitas, dan kesejahteraan masyarakat yang hidup di sekitarnya. Ia juga menyoroti perlunya kolaborasi lintas sektor melalui skema Public-Private Partnership (PPP) dan Community-Based Tourism (CBT) agar pengelolaan warisan budaya dapat lebih partisipatif dan berkeadilan.
Sebagai penutup, Pak Bobi membahas kaitan antara pelestarian budaya dan tata ruang. Menurutnya, kebijakan tata ruang nasional harus mampu mengakomodasi kawasan lindung dan kawasan budidaya secara proporsional, termasuk menetapkan zona pariwisata yang selaras dengan nilai konservasi. Ia mencontohkan bagaimana sistem RDTR dan KKPR dapat berperan penting dalam mengatur kegiatan wisata agar tetap menjaga keseimbangan antara pelestarian lingkungan, perlindungan budaya, dan pemanfaatan ruang.
Pelestarian warisan budaya dan pengembangan pariwisata yang berkelanjutan merupakan bagian integral dari upaya pencapaian Sustainable Development Goals (SDGs). Upaya tersebut mendukung SDG 11 (Kota dan Permukiman yang Berkelanjutan) dengan menjaga identitas kawasan bersejarah dan kualitas lingkungan hidup; SDG 8 (Pekerjaan Layak dan Pertumbuhan Ekonomi) melalui pengembangan ekonomi berbasis pariwisata lokal; serta Tujuan 4 (Pendidikan Berkualitas) dengan mendorong peningkatan kesadaran dan literasi budaya bagi masyarakat. Selain itu, kolaborasi lintas sektor yang ditekankan dalam workshop juga berkontribusi pada SDG 17 (Kemitraan untuk Mencapai Tujuan), di mana pelestarian cagar budaya menjadi wujud nyata kerja bersama antara pemerintah, akademisi, dunia usaha, dan komunitas lokal. Dengan demikian, warisan budaya tidak hanya dijaga sebagai peninggalan masa lalu, tetapi juga dimanfaatkan secara bijak untuk membangun masa depan yang berkelanjutan bagi generasi mendatang.
Berita oleh Rindi Dwi Cahyati