Indonesia kembali menunjukkan peran pentingnya dalam diplomasi budaya internasional melalui kehadiran Dr. Eng. Ir. Laretna Trisnantari Adhisakti, M.Arch. (Bu Sita) sebagai keynote speaker dalam konferensi internasional Guarding Hometown – Learning Across Domain pada 31 Oktober 2025. Konferensi ini diselenggarakan berbarengan dengan Konferensi ke-48 Federasi Nasional Pelestarian dan Regenerasi Kota Pusaka Jepang (Machinami Hozon), yang untuk pertama kalinya digelar di luar Jepang sejak organisasi tersebut berdiri. Kehadiran Indonesia dalam forum tersebut menandai berlanjutnya kontribusi aktif dalam mengembangkan pendekatan pelestarian yang lebih inklusif dan berbasis masyarakat.
Kegiatan ini dihadiri oleh sekitar 130 peserta dari lebih dari 50 organisasi Machinami Hozon, yaitu jaringan pelestarian dan regenerasi kota pusaka berbasis warga di Jepang. Selain itu, terdapat sekitar 170 peserta internasional, termasuk dari Taiwan, yang membuat konferensi ini menjadi wadah pertemuan pengetahuan dan pengalaman lintas negara. Perjumpaan antara pelestari lokal Jepang dan peserta dari berbagai negara membuka ruang untuk membandingkan, mempelajari, dan menyinergikan berbagai praktik konservasi.
Dalam paparannya, Bu Sita menyampaikan gagasan Conservation of Cultural Ecology dari Yogyakarta sebagai pendekatan yang relevan untuk menjawab krisis lingkungan global. Gagasan ini menekankan pentingnya merawat “Saujana”, yaitu kesatuan antara pusaka alam dan budaya yang membentuk identitas kawasan. Perspektif tersebut juga selaras dengan agenda pembangunan berkelanjutan, khususnya SDG 11 tentang Kota dan Komunitas Berkelanjutan serta SDG 15 terkait Ekosistem Daratan.
Salah satu contoh yang disampaikan adalah konsep Saptasindhavah atau tujuh sungai utama Yogyakarta yang dipandang bukan hanya sebagai elemen fisik, tetapi sebagai tulang punggung ekologi budaya. Bu Sita menunjukkan bagaimana revitalisasi sungai dapat dilakukan melalui gerakan warga, seperti yang tercermin dalam inisiatif “Omah Adishakti” di tepi Sungai Winongo. Inisiatif ini mengubah kawasan sempadan menjadi ruang publik kreatif, kawasan konservasi bambu, dan panggung seni warga.
Transformasi sungai tersebut tidak hanya memperbaiki kualitas lingkungan, tetapi juga mendukung penyediaan air bersih dan sanitasi sesuai SDG 6. Upaya ini membuktikan bahwa pelestarian berbasis komunitas dapat menghasilkan dampak ekologis dan sosial sekaligus. Para peserta konferensi, khususnya dari jaringan Machinami Hozon, menilai pendekatan partisipatif seperti ini sebagai contoh praktik baik yang relevan di berbagai konteks kota pusaka.
Dalam presentasinya, Bu Sita juga menekankan pentingnya pelestarian warisan budaya tak benda sebagai penggerak ekonomi lokal. Ia mengangkat contoh Batik sebagai identitas budaya Yogyakarta, sekaligus sektor ekonomi kreatif yang menyerap banyak tenaga kerja. Upaya pelestarian motif tradisional dan penggunaan pewarna alami seperti indigo turut mendukung pencapaian SDG 8 tentang Pekerjaan Layak dan Pertumbuhan Ekonomi.
Selain itu, ia menampilkan bagaimana pemulihan motif-motif Batik pascagempa di Imogiri menjadi bagian dari upaya pelestarian budaya yang sensitif terhadap trauma kolektif masyarakat. Contoh tersebut menunjukkan bahwa pelestarian budaya tidak hanya berkaitan dengan benda, tetapi juga pemulihan memori dan keberlanjutan sosial. Hal ini menegaskan bahwa pelestarian budaya dapat memberi manfaat jangka panjang bagi kesejahteraan komunitas.
Konferensi ini juga menjadi momentum memperkuat jejaring pendidikan global melalui International Jogja Field School. Program ini mempertemukan mahasiswa dan peneliti dari berbagai negara untuk belajar langsung tentang konservasi pusaka di lapangan. Dengan pendekatan berbasis pengalaman, program ini mendukung SDG 4 tentang Pendidikan Berkualitas melalui pembelajaran lintas budaya.
Dalam diskusi paralel, muncul pula peluang kerja sama riset dan pertukaran akademik dengan Rektor Universitas Kaohsiung, yang merupakan arsitek pelestarian ternama di Taiwan. Kerja sama ini diharapkan dapat memperkuat kolaborasi antara Indonesia, Taiwan, dan Jepang dalam pengembangan ilmu pelestarian. Momentum ini menandai terbukanya babak baru dalam kolaborasi lintas negara di bidang konservasi budaya.
Kehadiran Indonesia dalam forum bergengsi ini menegaskan bahwa Yogyakarta merupakan pusat unggulan dalam studi konservasi berbasis komunitas. Kolaborasi dengan Machinami Hozon, jaringan pelestarian dengan pengalaman lebih dari 50 tahun, memberikan peluang besar untuk memperkuat kemitraan global, sejalan dengan SDG 17. Melalui pertukaran gagasan yang dinamis ini, konsep “Saujana” Yogyakarta diharapkan dapat menginspirasi berbagai kota di dunia dalam merawat identitas, lingkungan, dan kesejahteraan masyarakatnya secara berkelanjutan.
Berita oleh Rindi Dwi Cahyati


