Paparan mengenai Sumbu Kosmologis Yogyakarta yang disampaikan oleh Dr. Eng. Ir. Laretna Trisnantari Adhisakti, M.Arch., atau Bu Sita, di hadapan para peneliti Taiwan Heritage Society pada 29 Oktober 2025, menghadirkan sudut pandang baru dalam percakapan global tentang pengelolaan kota pusaka. Mewakili UGM-UNESCO Chair, Bu Sita tidak hanya menjelaskan pencapaian Yogyakarta sebagai Warisan Dunia UNESCO, tetapi juga memperlihatkan bagaimana tata ruang tradisional dapat menjadi inspirasi dalam menjawab tantangan keberlanjutan masa kini.
Dalam presentasinya, filosofi Hamemayu Hayuning Bawono yang menjadi dasar terbentuknya Sumbu Kosmologis dijabarkan sebagai konsep manajemen lingkungan yang menyatukan mitigasi bencana dan keseimbangan ekosistem. Gagasan ini selaras dengan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDG) 11 tentang Kota dan Komunitas Berkelanjutan, sekaligus menunjukkan bahwa warisan budaya bukan sekadar peninggalan sejarah, tetapi panduan hidup yang tetap relevan.
Salah satu poin yang paling membuka wawasan para peserta adalah penerapan pendekatan Historic Urban Landscape (HUL) dalam pengelolaan kawasan penyangga. Bu Sita menegaskan bahwa pelestarian kawasan tidak boleh mematikan kehidupan ekonomi masyarakat di kampung-kampung bersejarah seperti Wijilan dan Kauman. Melalui konsep “Kawasan Pusaka Niaga Indonesia” yang merujuk pada pendekatan Main Street, konservasi budaya justru dapat menjadi pendorong pertumbuhan ekonomi inklusif, memberdayakan UMKM dan pengrajin lokal. Pendekatan ini sejalan dengan SDG 8 tentang Pekerjaan Layak dan Pertumbuhan Ekonomi, memastikan bahwa masyarakat lokal tetap menjadi penerima manfaat utama dari status warisan dunia.
Lebih jauh, paparan ini menyoroti urgensi pelestarian budaya tak benda, seperti Batik dan seni pertunjukan, sebagai elemen yang tidak terpisahkan dari pelestarian fisik kota. Bu Sita menjelaskan bahwa Yogyakarta sebagai “World Batik City” membuktikan bagaimana kearifan lokal dan pola produksi tradisional dapat bertahan di tengah gempuran industrialisasi global. Penjelasan ini memberikan perspektif baru bagi audiens di Taiwan tentang Pola Konsumsi dan Produksi yang Bertanggung Jawab (SDG 12), di mana nilai sejarah dan keberlanjutan lingkungan menjadi nilai tambah utama sebuah produk budaya.
Presentasi ini juga berdampak pada penguatan jejaring akademis global melalui penjelasan program International Jogja Field School yang dilaksanakan pada tahun 2024 hingga 2025. Bu Sita mengundang para peneliti dan mahasiswa dari berbagai negara untuk terlibat langsung dalam konservasi lapangan di Yogyakarta, menciptakan ruang pertukaran ilmu yang dinamis dan aplikatif. Inisiatif ini merupakan implementasi nyata dari SDG 4 tentang Pendidikan Berkualitas serta SDG 17 mengenai Kemitraan untuk Mencapai Tujuan, di mana kolaborasi lintas negara menjadi kunci dalam menjaga warisan peradaban manusia.
Kehadiran Bu Sita dalam forum ini sekaligus menegaskan bahwa Yogyakarta bukan hanya destinasi wisata, tetapi juga laboratorium hidup bagi ilmu pengetahuan dan kemanusiaan. Para peneliti Taiwan Heritage Society diajak untuk melihat bahwa Sumbu Kosmologis Yogyakarta merupakan bukti bahwa nilai spiritual dan filosofis masa lalu dapat menjadi pegangan dalam merancang kota masa depan. Tanggapan positif dari peserta forum diharapkan mendorong lebih banyak penelitian kolaboratif yang menempatkan kearifan lokal sebagai solusi utama dalam menghadapi krisis iklim dan tantangan urbanisasi global.
Berita oleh Rindi Dwi Cahyati

